Kamis, 28 Oktober 2010

Keindahan Dalam Filsafat

Estetika dalam keindahan sering tidak terpikirkan oleh beberapa orang, tetapi sebenarnya terdapat suatu makna dan proses terciptanya sebuah keindahan atau estetika di dalam diri manusia yang menarik untuk diketahui. Untuk membuka tabir mengenai keindahan, saya akan memberikan penjelasan-penjelasan yang di ambil dari buku Estetika dan Filsafat Keindahan karya Dr. Mudji Sutrisno SJ dan Prof. Dr. Christ Verhaak SJ. Di dalam penjelasan dibawah ini akan mengupas arti dan perkembangan estetika dari Zaman Yunani Kuno hingga masa modern. Selain itu terdapat pemaparan mengenai pendekatan estetika dan refleksi filsafati mengenai keindahan.
Dalam filsafat keindahan “pengalaman estetis” menurut pandangan fenomenologi merupakan pengalaman estetis tentang sesuatu. Ada beberapa unsur-unsur pokok dalam pengalaman estetis. Adapun beberapa syarat yang harus terpenuhi terlebih dahulu sebelum sesuatu dikatakan indah, untuk mendapatkan kesan indah atau menangkap sesuatu keindahan perlu adanya waktu luang atau waktu senggang untuk mendapatkan pengalaman estetis. Untuk mendapatkan pengalaman estetis keadaan seseorang harus tidak dalam keadaan terlalu kaya ataupun keadaan sangat miskin.
Ada beberapa syarat untuk mendapatkan pengalaman estetis sejati, pengalaman estetis sejati harus didasarkan pada pengamatan inderawi, dan seluruh aspek di dalam manusia harus ikut dalam pengamatan tersebut seperti jiwa raga dengan segala indera dan kemampuan-kemampuan lainnya, bagaikan terikat dan terpikat hatinya. Pengalaman estetis tersebut tidak dapat langsung disampaikan atau diberikan kepada orang lain, selayaknya bahwa pengalaman keindahan itu tidak bisa diucapkan dengan kata-kata. Dan pengalaman keindahan tersebut hanya berkembang pada dalam dirinya sendiri. Diri individu yang memiliki pengalaman keindahan hanya dapat membantu orang lain atau temannya untuk memperoleh pengalaman indah yang serupa.
Saat seniman memciptakan sesuatu untuk mengabadikan pengalaman keindahannya secara sempurna dan sama persis, maka mungkin pengalaman estetika tersebut telah berakhir. Tetapi hal ini jarang ditemukan, bahwa sang seniman puas dengan karyanya sebagai bentuk cerminan dari pengalaman keindahannya. Oleh karena itu pengalaman keindahan memang sangat sulit dicerminkan dan si seniman hanya menciptakan suatu karya seni yang digunakan untuk membantu orang lain untuk mendapatkan pengalaman keindahan yang sama yang ada di dalam dirinya sehingga karya seni yang dibuatnya memiliki nilai-nilai estetis.
Bila dilihat dari perkembanga filsafat mengenai keindahan atau estetika, tentu saja banyak pakar yang mengemukakan pendapat mereka menggenai estetika.
1.    Plato (428-348)
Pandangan Plato tentang keindahan dibagi menjadi dua. Menurut pandangan pertama, yang indah adalah benda material, umpamanya tubuh manusia, tampak pada saya, lebih jauh lagi yang lebih indah daripada itu adalah jiwa lalu yang paling indah adalah idea yang indah. Adapun pandangan kedua, bahwa yang indah dan sumber segala keindahan adalah yang paling sederhana, umpamanya nada yang sederhana, warna yang sederhana.

2.    Aristoteles (384-322)
Pandangan keindahan Aristoteles agak dekat dengan pandangan kedua Plato, keindahan menyangkut keseimbangan dan keteraturan ukuran, yakni ukuran material. Pandangan ini berlaku untuk benda-benda alam maupun untuk karya seni buatan manusia.
3.    Plotinos(205-270)
Dia memiliki pemikiran tentang keindahan berangkat dari kenyataan duniawi yang kita saksikan dan yang kita alami sehari-hari. Keindahan itu dapat ditemukan baik dalam keadaan terlihat maupun yang terdengar, bahkan dalam watak dan tingkah laku manusia. Platinos mendekatkan pengalaman estetis dengan pengalaman religius.
4.    Thomas Aquinas (1225-1274)
Rumusan thomas yang terkenal adalah: “keindahan berkaitan dengan pengetahuan, kita menyebut sesuatu itu indah jika sesuatu itu menyenangkan mata sang pengamat”. “keindahan harus mencakup tiga kualitas: integritas atau kelengkapan, proporsi, atau keselarasan yang benar dan kecemelangan”. Disini peranan objek keindahan nampak mencolok. Adapun kutipan yang lain, “keindahan terjadi jika pengarahan di subyek muncul lewat kontemplasi atau pengetahuan inderawi. Thomas mengajukan peranan dan rasa si subyek dalam proses terjadinya keindahan. Ia menggarisbawahi betapa pentingnya pengetahuan dan pengalaman empiris-aposteriori yang terjadi dalam diri manusia.
5.    Masa modern
Pada masa modern, keindahan banyak dilihat dari pandangan para seniman dan rasionalitas yang terdapat di dalam keindahan tersebut. Menurut Leon Battista Alberti, untuk menikmati keindahan karya seni, haruslah dapat mengamati keselarasannya dan dituntut memiliki “cita rasa keindahan”.

Dalam bagian selanjutnya, saya akan mencoba menggamarkan dengan singkta dan jelas mengenai proses terciptanya rasa keindahan di dalam di ri manusia. Di dalam estetika dikenal 2 pendekatan:
a.    Langsung meneliti keindahan itu dalam obyek-obyek atau benda-benda atau alam indah serta karya seni.
b.    Menyoroti situasi kontemplasi rasa indah yang sedang dialami oleh si subyek (pengalaman keindahan dalam diri seseorang).
Para pemikir modern cenderung  memberi perhatian pada yang kedua (pengalaman keindahan). Dalam diri kita muncul reaksi-reaksi yang pusatnya alam rasa lalu menggumpal atau membekas dalam pengalaman-pengalaman. Clive Bell mempunyai credo bahwa “estetika akan berangkat dari pengalaman pribadi yang berupa rasa khusus dan istimewa”. Clive Bell merumuskan dictum estetikanya bahwa “keindahan (apa itu keindahan) hanya dapat ditemukan oleh orang yang dalam dirinya sendiri punya pengalaman yang bisa mengenali wujud bermakna dalam satu benda atau karya seni tertentu dengan getaran atau ranggsangan keindahan.
Terdapat ciri pengalaman estetis sejati, pengalaman estetis ternyata berdasarkan pengalaman inderawi, sekaligus seluruh manusia ikut terbawa oleh pengamatan itu, jiwa raga, dengan segala indera dan kemampuan-kemampuan lainnya; bagaikan terikat dan terpikat hatinya. Perlu adanya waktu luang untuk mendapatkan pengalaman estetis tersebut.
Dalam rangka sejarah filsafat keindahan terdapat pertanyaan yang muncul apakah keindahan tersebut merupakan suatu kesempurnaan seperti halnya kebaikan dan kebenaran. Pengalaman estetis sesungguhnya terletak seperti diluar asas-asas kebenaran dan diluar penilaian berdasarkan kebaikan yang dianut dalam dunia ilmu dan kesusilaan. Pengalaman estetis merupakan sesuatu yang menyangkut pengalaman manusia di dunia ini dan tentang dunia ini, dengan menjauhkan diri dari tindakan dan kegiatan yang mengejar salah satu tujuan dan bersifat jasmani-rohani.

Dalam bagian terakhir dalam resume ini akan dijelasakan mengenai Refleksi Filsafati mengenai Keindahan. Pada bagian ini, memang agak berat dan sulit untuk dimengerti.
Terdapat dua titik pendalaman filsafatnya dari paparan pengalaman-pengalaman estetis. Pertama, bahwa pengalaman estetika berkaitan dengan soal perasaan. Kedua, ada hubungan antara indah dengan huruf kecil dan indah dengan huruf besar.
Pengalaman akan yang indah berhubungan dengan sang sumber keindahan. Fenomenologi malahan menunjuk kesejajaran antara pengalaman estetika dengan pegalaman akan yang ilahi. Pengalaman tentang keindahan dan yang indah itu bersifat naif dan mendua (ambigu) seperti ciri khas perasaan (afeksi, rasa) itu sendiri. Dari penjelasan psikologis dan fenomenolgi dapat dipaparkan apa itu makna dan prosesnya.
Pertama, Perasaan itu merupakan salah satu pembahasan, pemberian kata, pemberian arti pada jagad dan ke-ada-an kita. Salah satu ciri perasaan itu: total (menyeluruh) tuntas dan mutlak. Bila saya bahagia , ayun langkah dalam hidup juga terang, cara memandang kita juga jelas benderang. Bila saya susah, realitas di luar selalu mendung. Bila kecewa hancur, seluruh hidup juga gagal tak bermakna. Ciri total, tuntas mutlak dari perasaan amat terlihat pada pengalaman asmara: kesatuan tubuh menjadi kulminasi semua nilai dari seluruh jagad. Dengan perasaanlah yang memungkinkan orang masuk ke dalam jagad yang religius
Kedua, perasaan merupakan media untuk menanggapi realitas secara langsung. Dengan afeksi orang dibawa keluar dari dirinya dan diarahkan ke dunia. Afeksi memang sebuah fenomen keterarahan (intensionalitas). Bila afeksi senada dengan kehidupan dunia maka dirinya pun akan bahagia, tetapi bila tidak senada maka dirinya akan merasakan kesedihan karena dirinya akan merasa seperti ada jarak, asing, sepi, dan susah. Dengan perasaan orang mengalami dunia dengan ciri-cirinya, sifat-sifatnya dan nilai maknanya langsung.
Ketiga, afeksi itu lebih berciri menerima dan dikenai daripada aktif memulai (lain dengan kehendak yang aktif dan memutuskan). Manusia dikenai, mau tak mau juga dikuasai oleh rasanya. Agar rasa yang reseptif itu menjadi kegiatan yang kreatif, ia perlu digerakan. Kreatifitas muncul setelah seseorang merasakan rasa tersebut. Pengucapan rasa ini lalu diwujudkan dengan bahasa.


Daftar Pustaka

Sutrisno, Fx. M. dan Verhaak, C. Estetika dan Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Kanisinus, 1993.

0 komentar:

Posting Komentar

 

About Me

Foto saya
orang yang unik dan tidak menyukai hal-hal yang berbau mainstream